CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG CANTIK

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG CANTIK


CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG CANTIK, Hasrat-Bispak37 Seluruh orang didalamnya perlu bertarung serta berkorban agar tak terdepak, dan tidak semuanya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita kejadian hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang gak banyak yang mengetahui nama asli saya. Bapak dan Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, namun berarti gak sekedar itu. Denok  memiliki arti montok alias sintal, dan ternyata makna itu yang lebih dikenang beberapa orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Saat kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu satunya Bapak serta Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Sejak mulai kecil saya diajari menari oleh Simbok, karena beliau sendiri waktu muda yaitu orang penari, dan kerap ditanggap bila ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti sewaktu satu hari saya serta Simbok menemukan Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak mempunyai banyak hutang karena hilang ingatan judi, dan beliau tak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang bersedih karena Bapak tidak ada, namun juga kebingungan karena beberapa waktu sesudah Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah karena rumah kami diambil broker judi yang memberikan hutang pada Bapak. Kami gak mempunyai lokasi tujuan, dan uang simpanan kami gak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot membawa saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan. WAJIB 4D


"Denok, kita nggak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat coba mencari uang, semoga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya cuman alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima sebab dirasa pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak perlu ijazah, rival sangat banyak. Pada akhirnya sehabis lumayan lama melihat beberapa peluang yang ada, Simbok memilih untuk manfaatkan keterampilan kami. Hanya modal kemeja dan perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awalilah kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota lagi bersiap ujian akhir SMA atau meniti tahun awal kuliah, dan yang di dusun tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya mengawali jalani kehidupan anyar, menjual keterampilan seni tari bersama Simbok. Mulanya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, semata-mata cari keramaian di mana kami dapat mendapatkan sekian lembar rupiah untuk melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mengkaji jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang ingin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya gak enteng pun cari uang lewat langkah semacam ini, paling-paling yang kami peroleh hanya untuk makan kami berdua, satu atau 2x di hari itu. Dan tidak di seluruh tempat kami dapat memperoleh pemirsa yang siap bayar, kadang kami malahan ditendang atau dihardik. Sesudah cukuplah lama, kami bertemu tempat di mana kami dapat terus bisa pemirsa dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekelilingnya. Kami juga sewa satu kamar sewaan murah di dekat Pasar. Banyak orang-orang di Pasar, berasal dari golongan menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat buat mereka ingat daerah masing-masing. Hadirnya kami di situ selalu disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Biarpun kerapkali helai-lembar itu diserahkan ke kami kurang santun misalkan dengan diumpetkan ke baju kami. Apa saya serta Simbok memang menarik? Tidak tahu ya. Saya sendiri tidak berasa elok. Jadi anak petani yang kerap main di luar semenjak kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Namun Simbok pula sejak dulu terus membimbing dan memperingatkan saya buat menjaga badan biarpun melalui cara simple, jadi walaupun sawo masak, kulit saya masih mulus serta tidak jerawatan apa lagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya telah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipertimbangkan betul pun sich jika di sebut saya montok. Tak tahu mengapa, walaupun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap juga tubuh saya dapat saja ya. Sebelumnya remaja saja tetek saya udah tumbuh, dan saat ini jadi subur gumebyur sampai saya selalu risau dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya pun cepat dikarenakan dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang omong bahenol, saya sich matur nuwun saja bila ada yang menganggapnya demikian. Bertanya-tanyanya, kendati atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut dan pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, bila Simbok itu elok. Sampai usia begitu lantas beliau selalu elok. cerpensex.com Manalagi bila sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok dan gak tonton apapun kembali. Saya sendiri selalu berasa buruk lho kalaupun tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia sekedar saya sendiri yang nganggap muka saya buruk. Selainnya Simbok, beberapa orang yang umum lihat kami menari kok segalanya katakan saya elok. Saya pikirkan, ini sich pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu pertamanya kali didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk benar-benar. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, sampai berbeda warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat makin tebal. Bibir pula diberi gincu warna merah keren. Saya kala itu ngeluh,


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Perlu kinclong, manglingi. Kita perlu membikin suka yang lihat."


Makin lama saya biasa pula pakai dandanan semacam itu, malahan saya buat jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis setiap hari terbentuk penganten, sesaat jika nikah betulan perlu seperti apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sesuai sama kemben, kain batik, serta selendang. 


Tetapi betul-betul yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang ketahui. 2 bulan kami ada di dekat Pasar, bencana tiba kembali. Waktu sedang nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kronis. Saya was-was, beberapa orang di kitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok tidak terselamatkan. Simbok mati di rumah sakit sesudah 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sesungguhnya semenjak ketabrak  Simbok telah tak ada impian, tetapi entahlah mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya hingga sepanjang hari. Hingga gak sampai hati saya menyaksikannya. Masa itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, karena itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara begitu. Namun apa itu betul atau gak, saya tidak mau tahu, biarkan itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit dan penyemayaman, malahan perlu berutang kemanapun. Saya tidak bisa melaksanakan acara jenis-jenis buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana dan berjumpa kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di sewa saja karena sangat bersedih. Barangkali tiap hari saya menangis, berduka ingat Simbok, pula kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri buat keluar kembali, ngamen kembali, karena uang telah habis serta saya pula harus lawan banyak tukang tagih hutang yang tidak mau tahu kesusahan saya . Sehingga, 1 minggu selepas Simbok disemayamkan, saya kembali bersiap untuk keluar, menari. Didepan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya agar tidak nampak beberapa bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, serasi keluar kamar saya justru berjumpa dengan ibu yang miliki sewaan. Sang ibu gak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak miliki uang, jadi saya sekedar dapat omong maaf, dan sang ibu jadi ngancam secara lembut. Gak apapun tidak bayar, tuturnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya masalah untuk saya. Saya pengen upaya dahulu, kata saya, kelak akan saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG CANTIK

Apesnya, hari itu pasar rada sepi, dan selepas dua jam saya anyar bisa Rp5000 sehabis menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala banyak ingatan, bagaimana langkahnya biar kelak jika pulang sudah mempunyai cukup uang buat bayar kontrak. Belum hutang-hutang yang lain. Mendekati siang, saya tengah jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Serta di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan lagi mengalkulasi segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya masa itu sekedar mengenal beliau selaku ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua ketimbang Simbok, kemungkinan umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali 2x saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya berikan kami uang tetapi beliau tidak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang ke Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri hampiri Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di serta berada di belakang. Tokonya sedang sepi, tidak ada konsumen. WAJIB 4D


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan lihat saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya tidak kuat bilangnya. Namun saya harus ngomong. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis buat cost penguburan Simbok… saat ini saya perlu bayar kontrak dua bulan…"


"Hah?" Juragan lihat saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya mengharap kembali, "Saya udah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji bakal balikkan selekas mungkin."


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang tadi ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberikan hutang. Kamu penting uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya geram namun tak berani menunjukkan; kelihatannya Juragan tidak pingin pinjamkan uang. "Cuman ngerinya saya tak dapat cukup uang ini hari untuk membayar sewaan. Bila berjualan, saya nggak punyai apapun, harus jual apa?"


Namun lalu tatapan Juragan kok beralih menjadi aneh… Beliau dekati saya dan memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang ngomong kamu tidak miliki apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya ingin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga pipi saya melekat dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan lagi terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengandaikan apa tujuannya itu.


"Jika kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar buat bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya penting uang, tetapi apa harus secara semacam ini? Tetapi bila gak, bagaimana kembali? Yang ada saya akan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama dengan. Saya gak miliki alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga gak terdengaran. Jika saja gak ketutupan bedak, barangkali telah terlihat muka saya berbeda merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu sampai terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan rupanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak mempunyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya lagi melihati lantai, tak berani mengusung kepala, tetapi terkadang saya ngintip ke sana-kemari lihat situasi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang memberikan Juragan dengan seseorang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruang tidurnya. Ia suruh saya duduk di tempat tidur. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mempelajari sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian ngomong,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Kemungkinan ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tuturnya.


Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, lihat uang itu. Besar sekali untuk saya. Kebanyakan sepanjang hari menari saya tidak pernah mendapat uang sekitar itu. Namun saya terus sangsi. Juragan mendadak pengin ambil kembali uang itu.


"Kalaupun tak mau ya telah," tukasnya dengan suara kurang suka.


Namun saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Serasi tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum lihat saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membikin orang hasrat ajah…" saya tonton Juragan nyengir lebar sesudah bicara itu. sumpah, anyar ini kali ada laki laki buka-bukaan ngaku semacam itu.


Helai uang lima puluh ribu barusan ditempatkan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia sisipkan ke… aduh! Ia sisipkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tukasnya. Duh, gak yakin rasanya. Awal mulanya saya serta Simbok perlu menari sepanjang hari, sampai pegal-pegal, buat dapat duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat uang sekitar itu … kok enteng sekali?


"Betulan buat saya…?" Masih tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka semua," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa artinya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang ngomong itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih ditahan tangan saya, serta kainnya melaju demikian saja tiada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya bisa memperoleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka pun kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena barangkali barusan saya malu dan pelan satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya dan membuka kain batik saya. Saya tiba-tiba mundur, tetapi tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.


"Tidak boleh takut, Denok…" ucapnya.


Juragan pun menggenggam paha saya masih beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu sebab sentuhan Juragan. Tangannya terus nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, serta saya tambah deg-degan. Ia lagi remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya lagi nyibak kain saya, sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, lagi diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga sampai paha saya udah dikeluarkan dari buntelnya, sedikit kembali kancut saya tampak!


"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya masih nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa harusnya saya lepas pula?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sembari saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membujur di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, tetapi tidak tahu mengapa, saya  kok rasa nafsu saya bangun? Aduh? Kok ini jadi? Juragan terus menerus menyaksikan sekujur badan saya, sembari beri pujian.


"Mari donk, tidak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, kalaupun kamu ingin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan ditempatkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada kembali yang tutupi. Saat ini kancut saya nampak.


"Euh… Juragan… pengen pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama